Dalam beberapa waktu belakangan ini isu tentang Perguruan Tinggi
Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) menjad isu yang hangat dikalangan civitas
akademika Universitas Hasanuddin. Cukup wajar, mengingat adanya kemungkinan
unhas beralih dari statusnya yang saat ini yang ‘masih’ berbentuk Badan Layanan
Umum (BLU) ke PTN-BH. Menurut evaluasi DIKTI, Unhas dianggap telah cukup mapan
untuk menjadi PTN-BH.
Tapi sebenarnya, apa itu PTN-BH???
PTN-BH pada dasarnya adalah PTN yang telah diberi otonomi penuh dalam
pengelolaan kampusnya. Adapun otonomi yang dimaksud adalah otonomi akademik meliputi penetapan norma, kebijakan operasional,
dan pelaksanaan Tri Dharma PT, serta otonomi
non-akademik meliputi, organisasi, kemahasiswaan, ketenagaan, keuangan, dan
sarana prasarana (UU no. 12 thn 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 64). Atau
secara konkret menurut UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) pasal
65 point 3:
PTN badan
hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memiliki:
- kekayaan
awal berupa kekayaan
negara yang dipisahkan kecuali tanah;
- tata kelola
dan pengambilan keputusan
secara mandiri;
- unit yang
melaksanakan fungsi akuntabilitas
dan transparansi;
- hak mengelola
dana secara mandiri,
transparan, dan akuntabel;
- wewenang
mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga
kependidikan;
- wewenang mendirikan
badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan
- wewenang
untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi
atau dapat dilihat digambar dibawah:
Sumber: Bahan Sosialisasi UU DIKTI
Adapun otonomi yang terjadi, pada dasarnya telah menjadi cita-cita
dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam UU no
20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 24 yang juga menjadi dasar dari lahirnya
UU PT:
- Dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan
tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta
otonomi keilmuan.
- Perguruan
tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian
ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
- Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber
dana dari masyarakat yangpengelolaannya
dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik
Hal ini juga sejalan dengan tujuan Dirjen DIKTI yang termaktub dalam
renstra DIRJEN DIKTI 201-2014:
- Terbangunnya
sistem Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi yang
mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien
- Ketersediaan pendidikan
tinggi Indonesia yang
bermutu dan relevan
dengan kebutuhan pembangunan nasional
sehingga berkontribusi secara
nyata kepada
- peningkatan
daya saing bangsa;
- Keterjangkauan,
kesetaraan, dan keterjaminan akses untuk memperoleh pendidikan tinggi;
- Perguruan
tinggi yang otonom dan akuntabel sejalan dengan UU No 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional;
- Interaksi
perguruan tinggi dengan masyarakat yang
mencerminkan hubungan timbal balik yang selaras dan saling menguntungkan
Melihat dari penjelasan diatas, kampus yang berkedudukan sebagai
PTN-BH memiliki banyak keleluasaan dalam pengelolaannya. Kampus diberi hak
untuk menentukan besaran biaya pendidikan yang ditanggung mahasiswa (SPP/UKT), membuka dan menutup jurusan, fakultas, atau
prodi, mengangkat dan memberhentikan dosen, bahkan lebih dari itu, kampus
diberi keleluasaan untuk membuka usaha/pemanfaatan aset dan bekerja sama dengan
pihak luar. Berbeda dengan BLU yang masih harus melalui syarat prosedural di
kementerian. Melihat dari keadaan tersebut, PTN-PTN berlomba-lomba menjadi
PTN-BH. Namun, sampai sekarang PTN yang menjadi PTN-BH ‘hanya’ UI, ITB, IPB,
UGM, UNAIR, USU, dan UPI. Sementara Unhas, Undip, ITS, serta Unpad sudah
mendapat lampu hijau dan sementara persiapan menuju PTN-BH.
Pada perkembangannya, kehadiran PTN-BH (konsekuensi logis dari UU PT),
melahirkan banyak pendapat pro dan kontra. Ada yang menganggap, otonomi yang
menjadi ciri-ciri dari PTN-BH merupakan praktek komersialisasi dan liberalisasi
sektor PTN. Hal ini dilekatkan dengan pendapat bahwa dengan PTN-BH, maka akses
terhadap akan semakin sulit dengan semakin membumbung tingginya uang SPP/UKT. Namun,
hal tersebut dibantah dengan pernyataan dari pihak pemangku kebijakan. Menurut mereka,
PTN-BH adalah wujud pemajuan kualitas pendidikan yang kesannya jauh dari
komersialisasi. ''PT tidak akan dilepas begitu saja. Dia harus tetap sebagai lembaga
nirlaba. Tidak boleh ada komersialisasi dan liberalisasi," kata Nuh.
Selanjutnya, rektor terpilih Unhas, Prof. Dwia Aries mengungkapkan dengan
pelaksanaan PTN-BH di Unhas, malah akan menekan biaya pendidikan. Tapi, hal
tersebut masih terbatas pada wilayah asumsi. Maka, mungkin akan sangat tepat
jika kita mencoba menganalisa lebih jauh dan sesekali mencoba mengiriskannya
dengan fakta yang telah terjadi dilapangan.
Pertama, pendapat pro UU PT dan PTN-BH yang
menyatakan bahwa tidak akan ada
komersialisasi pendidikan dengan adanya kebijakan tersebut. Pijakan mereka yang
pertama adalah dengan lahirnya UU PT selain melahirkan PTN-BH, juga melahirkan
anak peraturan lain disektor pembiayaan oleh mahasiswa yaitu sistem Uang Kuliah
Tunggal (UKT). Adanya UKT, menurut mereka akan memurahkan biaya pendidikan
karena mahasiswa hanya akan membayar satu biaya pendidikan serta tidak ada lagi
iuran pangkal.
"Biaya yang dibayar
mahasiswa akan mudah dikendalikan jika
dikumpulkan jadi satu menjadi UKT," tutur Nuh, saat konferensi pers
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang UKT, di Ruangan Graha 1,
Gedung A lantai 2 Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2013)
Serta dalam permen no 55 tahun 2013 pasal 5:
Perguruan tinggi
negeri tidak boleh memungut uang
pangkal dan pungutan lain selain
uang kuliah tunggal dari mahasiswa baru program Sarjana (S1) dan program
diploma mulai tahun akademik 2013 – 2014
Dengan adanya UKT juga dikatakan bahwa akan terjadi subsidi silang
antara mahasiswa ‘kaya’ dan mahasiswa ‘miskin’. Hal ini digambarkan dengaan
adanya pengelompokan pembayaran UKT berdasar pada tigkat pendapatan orang tua,
hal ini diatur di pasal 2 permen no 55 tahun 2013:
Uang kuliah tunggal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) terdiri atas beberapa kelompok
yang ditentukan berdasarkan kelompok
kemampuan ekonomi masyarakat.
Selanjutnya, hubungannya dengan PTN-BH, telah dijelaskan diatas bahwa
PTN yang telah PTN-BH berhak untuk menentukan sendiri besaran biaya yang
ditanggung oleh mahasiswanya. Maka, PTN-BH tentu bisa mengatur jumlah besaran
UKT tersebut sesuai dengan keadaan mahasiswa dan kebutuhan pembiayaan
operasional PTN.
Namun, apakah benar dengan sistem UKT, besaran biaya pendidikan yang
dibayar mahasiswa akan semakin murah??? Apalagi dengan sistem PTN-BH dimana
kampus dituntut untuk mendapat sumber pendanaan sendiri???
Mari kita lihat skema dibawah:
Diatas adalah skema sumber pendanaan yang diperoleh oleh kampus. Kemudian,
mari kita kembali ke pertanyaan, apakah UKT akan memurahkan atau malah memahalkan
biaya pendidikan. Mari kita lihat data UKT yang untuk mahasiswa MIPA Unhas
angkatan 2013:
Sumber: data dept. Riset,
Penelitan, dan Pengembangan BEM FMIPA Unhas 2013/2014
Selanjutnya, menurut pemerintah provinsi SULSEL, Upah Minimal Provinsi
SULSEL adalah sebesar Rp 1,8 Juta/bulan. Jika coba kita perbandingkan, jumlah
iuran yang dibayar untuk UKT tidak bisa kita katakan murah dengan mencoba memperbandingkan UMP dan SPP yang ditanggung
mahasiswa. Biaya yang diatas masih berupa biaya khusus untuk pendidikan, belum
lagi biaya kebutuhan hidup sehari-hari.
Tapikan ada subsidi silang..??
Mungkin demikian pembenaran selanjutnya. Mari kita lihat data persebaran
kelompok UKT MIPA Unhas 2013:
Sumber: data dept. Riset,
Penelitan, dan Pengembangan BEM FMIPA Unhas 2013/2014
Berdasar perhitungan pihak birokrasi, standar biaya minimal yang harus
ditanggung oleh mahasiswa di Unhas adalah Rp 750.000 (menurut hasil wawancara
pihak BEM FMIPA Unhas). Sementara, logika dalam subsidi silang adalah mereka
yang membayar dibawah standar akan disubsidi oleh mereka yang diatas standar. Melihat
data diatas, tidak ada satu pun mahasiswa
yang membayar dibawah standar, yang ada
itu yang membayar diatas standar!!! Berdasar dari hitung-hitung kasar dari data
diatas dari MIPA Unhas saja, bisa ditemui angka Rp 147.500.000/semester sebagai
nilai plus dari UKT.
Apakah ini untuk mempermurah biaya pendidikan dan memperbesar peluang kuliah atau malah
ajang nyari untung??
Selanjutnya, asumsi bahwa dengan PTN-BH biaya kuliah yang ditanggung
mahasiswa akan ditekan.
Apakah benar??? Berdasar hal yang telah kita bahas diatas, dengan
PTN-BH kampus diwajibkan untuk mencari dana sendiri dan APBN dan APBD akan
ditekan. Mari kita coba pikir-pikir sederhana kasus dibawah ini:
Ditengah kebutuhan pembiayaan
kampus yang tetap bahkan meningkat setiap tahun, subsidi terhadap kampus
dikurangi, kira-kira, dari mana kemungkinan besar kampus akan mencari sumber
pendapatan utama??
Hanya ada tida kemungkinan besar:
- investasi
- badan
usaha milik kampus
- MAHASISWA
Secara logika sederhana, bisa kita katakan kemungkinan kenaikan SPP
sebenarnya lebih besar dari pada kemungkinan turunya!!
Tapi itu Cuma asumsi, mari kita lihat data dilapangan. Bagaimana menurut
anda dengan SPP di ITB yang mencapai Rp 10juta/semester??? Atau bagaimana
dengan IPB yang mencapai Rp 13,5 Juta/semester??? Atau UGM yang mencapai Rp
14juta/semester???
APAKAH ITU MURAH???
Selain itu, memang benar kampus dilarang menarik uang pangkal (pasal 5
permen UKT), tapi coba lihat pasal 6 dari UKT,
Perguruan tinggi
negeri dapat memungut di
luar ketentuan uang kuliah tunggal dari mahasiswa
baru program Sarjana (S1) dan
program diploma nonreguler
paling banyak 20
(dua puluh) persen
dari jumlah mahasiswa
baru mulai tahun akademik 2013 – 2014.
Nah loh, kok??? Mungkin benar kampus dilarang mengambil uang pangkal
dari setiap mahasiswa baru, amun kampus tidak dilarang untuk mengambil
pungutan-pungutan selain ukt kepada mahasiswa, misal uang pembangunan, dll.
Selanjutnya, besarnya kebutuhan pembiayaan kampus mengakibatkan kampus
harus cerdas-cerdas ‘mencari’ uang. Memang benar, tata kelolanya harus nirlaba, tapi coba bayangkan
membengkaknya kebutuhan pembiayaan pasti akan memaksa kampus untuk lebih giat
mencari uang untuk pelaksanaan pendidikan. Kampus akan membuka banyak badan
usaha, UI misal dengan starbucks-nya, Unhas dengan Rumah Sakit dan CFC-nya, dll.
Lama-lama kampus ini kerjanya bukan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, tapi buka usaha sebanyak-banyaknya
dan mencari uang sebesar-besarnya. Atau semaaki menggalakkan
kerjasama-kerjasama dengan pihak lain. USAID, AUSAID, WB, ADB, dan
perusahaan-perusahaan. Dan jelas, harus kita ingat bahwa tidak ada istilah bebas nilai dalam dunia industri. Setiap uang/investasi
yang dikeluarkan pasti mengharapkan feedback.
Kedua, pendapat pro UU PT
dan PTN-BH, dengan adanya UU PT dan PTN-BH, kampus akan otonom. Mendapat keleuasaan
dalam membuka program study sesuai kebutuhan kampus, mengangkat dosen dan
tenaga kerja. Sepintas itu bagus, namun, bukankah otoritas penuh dalam membuka
prodi/jurusan tentu juga diiringi dengan otoritas untuk mnutup prodi yang tidak laku?? Lantas bagaimana nassib
mahasiswa dari prodi/jurusan tersebut?? Selanjutnya, otoritas mengangkat tenaga
kerja, juga memudahkan kampus untuk memecat tenaga kerja. Maka mari kita lihat
kemungkinan besar pemecatan besar-besaran terhadap dosen-dosen yang dianggap tidak berkompeten dengan melihat keadaan
dosen dilapangan yang kebanyakan cenderung malas-malasan dan berorientasi
proyek.
Melihat asumsi yang mereka katakan, sebenarnya kerumitan dalam
pembukaan prodi/jurusan atau pengangkatan dosen itu bukan karena kampus tidak
otonom, tapi karena pihak kementerian yang membuat proseduralnya menjadi rumit.
Jadi bisa dibilang, otonom atau tidak itu tidak mempengaruhi secara signifikan
terhadap cepat tidaknya prosedural. Itu bukan akar persoalan.
Ketiga, pendapat pro UU PT
dan PTN-BH mengatakan kampus akan akuntabel. Mari kita lihat UU no 14 tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pasal 9 ayat 1 dan 2:
1. Setiap Badan Publik wajib memberi informasi
publik secara berkala.
2. Informasi
publik sebagaimana ayat (1) meliputi:
a. Informasi yang berkaitan dengan Badan Publik;
b. Informasi mengenai kegiatan dan kinerja
Badan Publik terkait;
c. Informasi mengenai laporan keuangan ;
dan/atau
d. Informasi lain yang diatur dalam
perundang-undangan
Nah, melihat UU Keterbukaan Informasi Publik diatas, dengan atau tanpa
UU PT dan PTN-BH, kampus wajib memberikan
informasi dan bersifat akuntabel. Maka, bisa dikatakan bahwa mahasiswa berhak
atas informasi alokasi dana SPP mereka setiap tahun walau tanpa UU PT dan
PTN-BH sekalipun!!!
Melihat hal diatas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya
keberadaan UU PT, UKT, atau PTN-BH tidak untuk menyelesaikan persoalan rakyat
dan pemenuhan penjaminan mutu dari pendidikan. Malah sebaliknya, pernyataan
bahwa dengan adanya UU PT, serta dua anaknya (baca UKT dan PTN-BH), akan
mengomersialisasikan pendidikan dan meliberalkan pendidikan bisa kita anggap
tepat. Bangunan asumsi yang diungkap oleh pihak pemangku kebijakan entah itu
negara maupun kampus hanya sekonyong-konyong habis dimulut mereka saja. Fakta dilapangan
berkata lain. Mereka hanya menjual mimpi dengan harga obralan. Maka sangat
tepat jika gelombang penolakan terhadap UU PT, UKT, dan PTN-BH yang dilakukan
oleh organisasi kemahasiswaan (baik intra kampus maupun ekstra kampus) semarak
dimana-mana. Bahkan lebih dari itu, gelombang penolakan sudah seharusnya ada
mengingat kebutuhan kita terhadap akses pendidikan dan jaminan lapangan kerja.
The last,
Keburaman sistem pendidikan kita hari ini, sepatutnya bukan cuma jadi
bahan diskusi kantin atau diskusi pelataran, tapi menjadi cambuk pelecut untuk
organisasi kemahasiswaan untuk semakin giat mengintensifkan pebangkitan,
pengorganisasian, dan penggerakan massa dalam upaya peruangan menuntut
kebutuhan terhadap pendidikan yang terjangkau dan jaminan lapangan kerja. Sebab,
perubahan itu tidak akan lahir dari diskusi-diskusi tanpa out put, tapi
perubahan itu lahir dari diskusi-diskusi yang diakhiri dengan tindakan-tindakan
konkret. Sebab, pemangku kebijakan yang kesadarannya ada pada titik menikmati
hasil penghisabannya terhadap mahasiswa, tentu tidak akan melepas kesenangan
itu begitu saja. Perjuanganlah yang kelak akan merobohkan tirani sistem
pendidikan yang mahal, tidak mencerdaskan, dan tidak menjanjikan masa depan
cerah ini.
BANGKITKAN,
ORGANISASIKAN, GERAKKAN,
WUJUDKAN PENDIDIKAN
YANG ILMIAH, DEMOKRATIS, DAN MENGABDI PADA RAKYAT..!!
Pertama, otonomisasi yang diberikan tidak seutuhnya penuh, tentu ada bingkai-biangkai dari kementrian (alias negara gk lepas tangan).
ReplyDeletekedua, setiap kebijakan pasti selalu ada pro dan kontranya, positif dan negatifnya. tetapi harus kita cermati lebih seksama, bahwa PTN BH ini lebih banyak kebaikannya ketimbang keburukannya. Dan keburukannya bisa kita cegah. Cegahnya pun lebih mudah karena hanya pihak rektorat saja yang kita adili, gk sampai ke kementrian lagi (dengan kata lain pencegahannya lebih sederhana). hehe..
ketiga, sama seperti hak otonom yang diberikan kepada tiap daerah provinsi di Indonesia. klo kebijakan2 di tiap daerah masih berpusat di jakarta, yakin saja indonesia gk berkembang seperti hari ini. Nah, PT pun baiknya seperti itu. Punya kreativitas mengembangkan kampusnya sendiri.
Keempat, jika kampus punya hak otonom, kampus bisa memikirkan baiknya bagaimana. Dan memikirkan baiknya kampus ini, bisa berdiskusi dengan mahasiswa. Pihak rektorat harus mau..