Wednesday, April 16, 2014

Sekilas UU PT, UKT, dan PTN-BH

Dalam beberapa waktu belakangan ini isu tentang Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) menjad isu yang hangat dikalangan civitas akademika Universitas Hasanuddin. Cukup wajar, mengingat adanya kemungkinan unhas beralih dari statusnya yang saat ini yang ‘masih’ berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) ke PTN-BH. Menurut evaluasi DIKTI, Unhas dianggap telah cukup mapan untuk menjadi PTN-BH.
Tapi sebenarnya, apa itu PTN-BH???


PTN-BH pada dasarnya adalah PTN yang telah diberi otonomi penuh dalam pengelolaan kampusnya. Adapun otonomi yang dimaksud adalah otonomi akademik meliputi penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan Tri Dharma PT, serta otonomi non-akademik meliputi, organisasi, kemahasiswaan, ketenagaan, keuangan, dan sarana prasarana (UU no. 12 thn 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 64). Atau secara konkret menurut UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) pasal 65 point 3:
PTN  badan  hukum  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) memiliki:

  1.       kekayaan  awal  berupa  kekayaan  negara  yang  dipisahkan kecuali tanah;
  2.     tata  kelola  dan  pengambilan  keputusan  secara mandiri;
  3.        unit  yang  melaksanakan  fungsi  akuntabilitas  dan transparansi;
  4.        hak  mengelola  dana  secara  mandiri,  transparan, dan akuntabel;
  5.   wewenang  mengangkat  dan  memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;
  6.     wewenang  mendirikan  badan  usaha  dan mengembangkan dana abadi; dan
  7.      wewenang  untuk  membuka,  menyelenggarakan, dan menutup Program Studi
atau dapat dilihat digambar dibawah:
Sumber: Bahan Sosialisasi UU DIKTI

Adapun otonomi yang terjadi, pada dasarnya telah menjadi cita-cita dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam UU no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 24 yang juga menjadi dasar dari lahirnya UU PT:
  1.    Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan  tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
  2.    Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat  penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
  3.  Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yangpengelolaannya  dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik
Hal ini juga sejalan dengan tujuan Dirjen DIKTI yang termaktub dalam renstra DIRJEN DIKTI 201-2014:
  1. Terbangunnya  sistem  Direktorat  Jenderal  Pendidikan  Tinggi  yang  mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien
  2. Ketersediaan  pendidikan  tinggi  Indonesia  yang  bermutu  dan  relevan  dengan kebutuhan  pembangunan  nasional  sehingga  berkontribusi  secara  nyata  kepada
  3. peningkatan daya saing bangsa;
  4. Keterjangkauan, kesetaraan, dan keterjaminan akses  untuk  memperoleh pendidikan tinggi;
  5. Perguruan tinggi yang otonom dan akuntabel sejalan dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
  6. Interaksi perguruan tinggi dengan masyarakat  yang mencerminkan hubungan timbal balik yang selaras dan saling menguntungkan
Melihat dari penjelasan diatas, kampus yang berkedudukan sebagai PTN-BH memiliki banyak keleluasaan dalam pengelolaannya. Kampus diberi hak untuk menentukan besaran biaya pendidikan yang ditanggung mahasiswa (SPP/UKT),  membuka dan menutup jurusan, fakultas, atau prodi, mengangkat dan memberhentikan dosen, bahkan lebih dari itu, kampus diberi keleluasaan untuk membuka usaha/pemanfaatan aset dan bekerja sama dengan pihak luar. Berbeda dengan BLU yang masih harus melalui syarat prosedural di kementerian. Melihat dari keadaan tersebut, PTN-PTN berlomba-lomba menjadi PTN-BH. Namun, sampai sekarang PTN yang menjadi PTN-BH ‘hanya’ UI, ITB, IPB, UGM, UNAIR, USU, dan UPI. Sementara Unhas, Undip, ITS, serta Unpad sudah mendapat lampu hijau dan sementara persiapan menuju PTN-BH.
Pada perkembangannya, kehadiran PTN-BH (konsekuensi logis dari UU PT), melahirkan banyak pendapat pro dan kontra. Ada yang menganggap, otonomi yang menjadi ciri-ciri dari PTN-BH merupakan praktek komersialisasi dan liberalisasi sektor PTN. Hal ini dilekatkan dengan pendapat bahwa dengan PTN-BH, maka akses terhadap akan semakin sulit dengan semakin membumbung tingginya uang SPP/UKT. Namun, hal tersebut dibantah dengan pernyataan dari pihak pemangku kebijakan. Menurut mereka, PTN-BH adalah wujud pemajuan kualitas pendidikan yang kesannya jauh dari komersialisasi. ''PT tidak akan dilepas begitu saja. Dia harus tetap sebagai lembaga nirlaba. Tidak boleh ada komersialisasi dan liberalisasi," kata Nuh. Selanjutnya, rektor terpilih Unhas, Prof. Dwia Aries mengungkapkan dengan pelaksanaan PTN-BH di Unhas, malah akan menekan biaya pendidikan. Tapi, hal tersebut masih terbatas pada wilayah asumsi. Maka, mungkin akan sangat tepat jika kita mencoba menganalisa lebih jauh dan sesekali mencoba mengiriskannya dengan fakta yang telah terjadi dilapangan.
Pertama, pendapat pro UU PT dan PTN-BH yang menyatakan bahwa tidak akan ada komersialisasi pendidikan dengan adanya kebijakan tersebut. Pijakan mereka yang pertama adalah dengan lahirnya UU PT selain melahirkan PTN-BH, juga melahirkan anak peraturan lain disektor pembiayaan oleh mahasiswa yaitu sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). Adanya UKT, menurut mereka akan memurahkan biaya pendidikan karena mahasiswa hanya akan membayar satu biaya pendidikan serta tidak ada lagi iuran pangkal.
"Biaya yang dibayar mahasiswa akan mudah dikendalikan jika dikumpulkan jadi satu menjadi UKT," tutur Nuh, saat konferensi pers Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang UKT, di Ruangan Graha 1, Gedung A lantai 2 Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2013)
Serta dalam permen no 55 tahun 2013 pasal 5:
Perguruan  tinggi  negeri tidak  boleh  memungut uang  pangkal dan  pungutan lain selain uang kuliah tunggal dari mahasiswa baru program Sarjana (S1) dan program diploma mulai tahun akademik 2013 – 2014
Dengan adanya UKT juga dikatakan bahwa akan terjadi subsidi silang antara mahasiswa ‘kaya’ dan mahasiswa ‘miskin’. Hal ini digambarkan dengaan adanya pengelompokan pembayaran UKT berdasar pada tigkat pendapatan orang tua, hal ini diatur di pasal 2 permen no 55 tahun 2013:
Uang kuliah tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) terdiri atas beberapa  kelompok  yang ditentukan  berdasarkan  kelompok  kemampuan ekonomi masyarakat.
Selanjutnya, hubungannya dengan PTN-BH, telah dijelaskan diatas bahwa PTN yang telah PTN-BH berhak untuk menentukan sendiri besaran biaya yang ditanggung oleh mahasiswanya. Maka, PTN-BH tentu bisa mengatur jumlah besaran UKT tersebut sesuai dengan keadaan mahasiswa dan kebutuhan pembiayaan operasional PTN.
Namun, apakah benar dengan sistem UKT, besaran biaya pendidikan yang dibayar mahasiswa akan semakin murah??? Apalagi dengan sistem PTN-BH dimana kampus dituntut untuk mendapat sumber pendanaan sendiri???
Mari kita lihat skema dibawah:
Berdasar UU PT

Diatas adalah skema sumber pendanaan yang diperoleh oleh kampus. Kemudian, mari kita kembali ke pertanyaan, apakah UKT akan memurahkan atau malah memahalkan biaya pendidikan. Mari kita lihat data UKT yang untuk mahasiswa MIPA Unhas angkatan 2013:
Sumber: data dept. Riset, Penelitan, dan Pengembangan BEM FMIPA Unhas 2013/2014

Selanjutnya, menurut pemerintah provinsi SULSEL, Upah Minimal Provinsi SULSEL adalah sebesar Rp 1,8 Juta/bulan. Jika coba kita perbandingkan, jumlah iuran yang dibayar untuk UKT tidak bisa kita katakan murah dengan mencoba memperbandingkan UMP dan SPP yang ditanggung mahasiswa. Biaya yang diatas masih berupa biaya khusus untuk pendidikan, belum lagi biaya kebutuhan hidup sehari-hari.
Tapikan ada subsidi silang..??
Mungkin demikian pembenaran selanjutnya. Mari kita lihat data persebaran kelompok UKT MIPA Unhas 2013:
Sumber: data dept. Riset, Penelitan, dan Pengembangan BEM FMIPA Unhas 2013/2014

Berdasar perhitungan pihak birokrasi, standar biaya minimal yang harus ditanggung oleh mahasiswa di Unhas adalah Rp 750.000 (menurut hasil wawancara pihak BEM FMIPA Unhas). Sementara, logika dalam subsidi silang adalah mereka yang membayar dibawah standar akan disubsidi oleh mereka yang diatas standar. Melihat data diatas, tidak ada satu pun mahasiswa yang membayar dibawah standar, yang ada itu yang membayar diatas standar!!! Berdasar dari hitung-hitung kasar dari data diatas dari MIPA Unhas saja, bisa ditemui angka Rp 147.500.000/semester sebagai nilai plus dari UKT.
Apakah ini untuk mempermurah biaya pendidikan  dan memperbesar peluang kuliah atau malah ajang nyari untung??
Selanjutnya, asumsi bahwa dengan PTN-BH biaya kuliah yang ditanggung mahasiswa akan ditekan.
Apakah benar??? Berdasar hal yang telah kita bahas diatas, dengan PTN-BH kampus diwajibkan untuk mencari dana sendiri dan APBN dan APBD akan ditekan. Mari kita coba pikir-pikir sederhana kasus dibawah ini:
Ditengah kebutuhan pembiayaan kampus yang tetap bahkan meningkat setiap tahun, subsidi terhadap kampus dikurangi, kira-kira, dari mana kemungkinan besar kampus akan mencari sumber pendapatan utama??
Hanya ada tida kemungkinan besar:
  1.  investasi
  2.  badan usaha milik kampus
  3. MAHASISWA
Secara logika sederhana, bisa kita katakan kemungkinan kenaikan SPP sebenarnya lebih besar dari pada kemungkinan turunya!!
Tapi itu Cuma asumsi, mari kita lihat data dilapangan. Bagaimana menurut anda dengan SPP di ITB yang mencapai Rp 10juta/semester??? Atau bagaimana dengan IPB yang mencapai Rp 13,5 Juta/semester??? Atau UGM yang mencapai Rp 14juta/semester???
APAKAH ITU MURAH???
Selain itu, memang benar kampus dilarang menarik uang pangkal (pasal 5 permen UKT), tapi coba lihat pasal 6 dari UKT,
Perguruan  tinggi  negeri dapat  memungut  di  luar  ketentuan  uang  kuliah tunggal dari  mahasiswa  baru program Sarjana (S1) dan  program  diploma nonreguler paling  banyak  20  (dua  puluh)  persen  dari  jumlah  mahasiswa  baru mulai tahun akademik 2013 – 2014.
Nah loh, kok??? Mungkin benar kampus dilarang mengambil uang pangkal dari setiap mahasiswa baru, amun kampus tidak dilarang untuk mengambil pungutan-pungutan selain ukt kepada mahasiswa, misal uang pembangunan, dll.
Selanjutnya, besarnya kebutuhan pembiayaan kampus mengakibatkan kampus harus cerdas-cerdas ‘mencari’ uang. Memang benar, tata kelolanya harus nirlaba, tapi coba bayangkan membengkaknya kebutuhan pembiayaan pasti akan memaksa kampus untuk lebih giat mencari uang untuk pelaksanaan pendidikan. Kampus akan membuka banyak badan usaha, UI misal dengan starbucks-nya, Unhas dengan Rumah Sakit dan CFC-nya, dll. Lama-lama kampus ini kerjanya bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi buka usaha sebanyak-banyaknya dan mencari uang sebesar-besarnya. Atau semaaki menggalakkan kerjasama-kerjasama dengan pihak lain. USAID, AUSAID, WB, ADB, dan perusahaan-perusahaan. Dan jelas, harus kita ingat bahwa tidak ada istilah bebas nilai dalam dunia industri. Setiap uang/investasi yang dikeluarkan pasti mengharapkan feedback.
Kedua, pendapat pro UU PT dan PTN-BH, dengan adanya UU PT dan PTN-BH, kampus akan otonom. Mendapat keleuasaan dalam membuka program study sesuai kebutuhan kampus, mengangkat dosen dan tenaga kerja. Sepintas itu bagus, namun, bukankah otoritas penuh dalam membuka prodi/jurusan tentu juga diiringi dengan otoritas untuk mnutup prodi yang tidak laku?? Lantas bagaimana nassib mahasiswa dari prodi/jurusan tersebut?? Selanjutnya, otoritas mengangkat tenaga kerja, juga memudahkan kampus untuk memecat tenaga kerja. Maka mari kita lihat kemungkinan besar pemecatan besar-besaran terhadap dosen-dosen yang dianggap tidak berkompeten dengan melihat keadaan dosen dilapangan yang kebanyakan cenderung malas-malasan dan berorientasi proyek.
Melihat asumsi yang mereka katakan, sebenarnya kerumitan dalam pembukaan prodi/jurusan atau pengangkatan dosen itu bukan karena kampus tidak otonom, tapi karena pihak kementerian yang membuat proseduralnya menjadi rumit. Jadi bisa dibilang, otonom atau tidak itu tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap cepat tidaknya prosedural. Itu bukan akar persoalan.
Ketiga, pendapat pro UU PT dan PTN-BH mengatakan kampus akan akuntabel. Mari kita lihat UU no 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pasal 9 ayat 1 dan 2:
1. Setiap Badan Publik wajib memberi informasi publik secara berkala.
2. Informasi publik sebagaimana ayat (1) meliputi:
a.      Informasi yang berkaitan dengan Badan Publik;
b.      Informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait;
c.       Informasi mengenai laporan keuangan ; dan/atau
d.      Informasi lain yang diatur dalam perundang-undangan
Nah, melihat UU Keterbukaan Informasi Publik diatas, dengan atau tanpa UU PT dan PTN-BH, kampus wajib memberikan informasi dan bersifat akuntabel. Maka, bisa dikatakan bahwa mahasiswa berhak atas informasi alokasi dana SPP mereka setiap tahun walau tanpa UU PT dan PTN-BH sekalipun!!!
Melihat hal diatas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya keberadaan UU PT, UKT, atau PTN-BH tidak untuk menyelesaikan persoalan rakyat dan pemenuhan penjaminan mutu dari pendidikan. Malah sebaliknya, pernyataan bahwa dengan adanya UU PT, serta dua anaknya (baca UKT dan PTN-BH), akan mengomersialisasikan pendidikan dan meliberalkan pendidikan bisa kita anggap tepat. Bangunan asumsi yang diungkap oleh pihak pemangku kebijakan entah itu negara maupun kampus hanya sekonyong-konyong habis dimulut mereka saja. Fakta dilapangan berkata lain. Mereka hanya menjual mimpi dengan harga obralan. Maka sangat tepat jika gelombang penolakan terhadap UU PT, UKT, dan PTN-BH yang dilakukan oleh organisasi kemahasiswaan (baik intra kampus maupun ekstra kampus) semarak dimana-mana. Bahkan lebih dari itu, gelombang penolakan sudah seharusnya ada mengingat kebutuhan kita terhadap akses pendidikan dan jaminan lapangan kerja.
The last,
Keburaman sistem pendidikan kita hari ini, sepatutnya bukan cuma jadi bahan diskusi kantin atau diskusi pelataran, tapi menjadi cambuk pelecut untuk organisasi kemahasiswaan untuk semakin giat mengintensifkan pebangkitan, pengorganisasian, dan penggerakan massa dalam upaya peruangan menuntut kebutuhan terhadap pendidikan yang terjangkau dan jaminan lapangan kerja. Sebab, perubahan itu tidak akan lahir dari diskusi-diskusi tanpa out put, tapi perubahan itu lahir dari diskusi-diskusi yang diakhiri dengan tindakan-tindakan konkret. Sebab, pemangku kebijakan yang kesadarannya ada pada titik menikmati hasil penghisabannya terhadap mahasiswa, tentu tidak akan melepas kesenangan itu begitu saja. Perjuanganlah yang kelak akan merobohkan tirani sistem pendidikan yang mahal, tidak mencerdaskan, dan tidak menjanjikan masa depan cerah ini.

BANGKITKAN, ORGANISASIKAN, GERAKKAN,
WUJUDKAN PENDIDIKAN YANG ILMIAH, DEMOKRATIS, DAN MENGABDI PADA RAKYAT..!!

1 comment:

  1. Pertama, otonomisasi yang diberikan tidak seutuhnya penuh, tentu ada bingkai-biangkai dari kementrian (alias negara gk lepas tangan).
    kedua, setiap kebijakan pasti selalu ada pro dan kontranya, positif dan negatifnya. tetapi harus kita cermati lebih seksama, bahwa PTN BH ini lebih banyak kebaikannya ketimbang keburukannya. Dan keburukannya bisa kita cegah. Cegahnya pun lebih mudah karena hanya pihak rektorat saja yang kita adili, gk sampai ke kementrian lagi (dengan kata lain pencegahannya lebih sederhana). hehe..
    ketiga, sama seperti hak otonom yang diberikan kepada tiap daerah provinsi di Indonesia. klo kebijakan2 di tiap daerah masih berpusat di jakarta, yakin saja indonesia gk berkembang seperti hari ini. Nah, PT pun baiknya seperti itu. Punya kreativitas mengembangkan kampusnya sendiri.

    Keempat, jika kampus punya hak otonom, kampus bisa memikirkan baiknya bagaimana. Dan memikirkan baiknya kampus ini, bisa berdiskusi dengan mahasiswa. Pihak rektorat harus mau..

    ReplyDelete

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Wednesday, April 16, 2014

Sekilas UU PT, UKT, dan PTN-BH

Dalam beberapa waktu belakangan ini isu tentang Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) menjad isu yang hangat dikalangan civitas akademika Universitas Hasanuddin. Cukup wajar, mengingat adanya kemungkinan unhas beralih dari statusnya yang saat ini yang ‘masih’ berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) ke PTN-BH. Menurut evaluasi DIKTI, Unhas dianggap telah cukup mapan untuk menjadi PTN-BH.
Tapi sebenarnya, apa itu PTN-BH???


PTN-BH pada dasarnya adalah PTN yang telah diberi otonomi penuh dalam pengelolaan kampusnya. Adapun otonomi yang dimaksud adalah otonomi akademik meliputi penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan Tri Dharma PT, serta otonomi non-akademik meliputi, organisasi, kemahasiswaan, ketenagaan, keuangan, dan sarana prasarana (UU no. 12 thn 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 64). Atau secara konkret menurut UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) pasal 65 point 3:
PTN  badan  hukum  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) memiliki:

  1.       kekayaan  awal  berupa  kekayaan  negara  yang  dipisahkan kecuali tanah;
  2.     tata  kelola  dan  pengambilan  keputusan  secara mandiri;
  3.        unit  yang  melaksanakan  fungsi  akuntabilitas  dan transparansi;
  4.        hak  mengelola  dana  secara  mandiri,  transparan, dan akuntabel;
  5.   wewenang  mengangkat  dan  memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;
  6.     wewenang  mendirikan  badan  usaha  dan mengembangkan dana abadi; dan
  7.      wewenang  untuk  membuka,  menyelenggarakan, dan menutup Program Studi
atau dapat dilihat digambar dibawah:
Sumber: Bahan Sosialisasi UU DIKTI

Adapun otonomi yang terjadi, pada dasarnya telah menjadi cita-cita dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam UU no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 24 yang juga menjadi dasar dari lahirnya UU PT:
  1.    Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan  tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
  2.    Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat  penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
  3.  Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yangpengelolaannya  dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik
Hal ini juga sejalan dengan tujuan Dirjen DIKTI yang termaktub dalam renstra DIRJEN DIKTI 201-2014:
  1. Terbangunnya  sistem  Direktorat  Jenderal  Pendidikan  Tinggi  yang  mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien
  2. Ketersediaan  pendidikan  tinggi  Indonesia  yang  bermutu  dan  relevan  dengan kebutuhan  pembangunan  nasional  sehingga  berkontribusi  secara  nyata  kepada
  3. peningkatan daya saing bangsa;
  4. Keterjangkauan, kesetaraan, dan keterjaminan akses  untuk  memperoleh pendidikan tinggi;
  5. Perguruan tinggi yang otonom dan akuntabel sejalan dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
  6. Interaksi perguruan tinggi dengan masyarakat  yang mencerminkan hubungan timbal balik yang selaras dan saling menguntungkan
Melihat dari penjelasan diatas, kampus yang berkedudukan sebagai PTN-BH memiliki banyak keleluasaan dalam pengelolaannya. Kampus diberi hak untuk menentukan besaran biaya pendidikan yang ditanggung mahasiswa (SPP/UKT),  membuka dan menutup jurusan, fakultas, atau prodi, mengangkat dan memberhentikan dosen, bahkan lebih dari itu, kampus diberi keleluasaan untuk membuka usaha/pemanfaatan aset dan bekerja sama dengan pihak luar. Berbeda dengan BLU yang masih harus melalui syarat prosedural di kementerian. Melihat dari keadaan tersebut, PTN-PTN berlomba-lomba menjadi PTN-BH. Namun, sampai sekarang PTN yang menjadi PTN-BH ‘hanya’ UI, ITB, IPB, UGM, UNAIR, USU, dan UPI. Sementara Unhas, Undip, ITS, serta Unpad sudah mendapat lampu hijau dan sementara persiapan menuju PTN-BH.
Pada perkembangannya, kehadiran PTN-BH (konsekuensi logis dari UU PT), melahirkan banyak pendapat pro dan kontra. Ada yang menganggap, otonomi yang menjadi ciri-ciri dari PTN-BH merupakan praktek komersialisasi dan liberalisasi sektor PTN. Hal ini dilekatkan dengan pendapat bahwa dengan PTN-BH, maka akses terhadap akan semakin sulit dengan semakin membumbung tingginya uang SPP/UKT. Namun, hal tersebut dibantah dengan pernyataan dari pihak pemangku kebijakan. Menurut mereka, PTN-BH adalah wujud pemajuan kualitas pendidikan yang kesannya jauh dari komersialisasi. ''PT tidak akan dilepas begitu saja. Dia harus tetap sebagai lembaga nirlaba. Tidak boleh ada komersialisasi dan liberalisasi," kata Nuh. Selanjutnya, rektor terpilih Unhas, Prof. Dwia Aries mengungkapkan dengan pelaksanaan PTN-BH di Unhas, malah akan menekan biaya pendidikan. Tapi, hal tersebut masih terbatas pada wilayah asumsi. Maka, mungkin akan sangat tepat jika kita mencoba menganalisa lebih jauh dan sesekali mencoba mengiriskannya dengan fakta yang telah terjadi dilapangan.
Pertama, pendapat pro UU PT dan PTN-BH yang menyatakan bahwa tidak akan ada komersialisasi pendidikan dengan adanya kebijakan tersebut. Pijakan mereka yang pertama adalah dengan lahirnya UU PT selain melahirkan PTN-BH, juga melahirkan anak peraturan lain disektor pembiayaan oleh mahasiswa yaitu sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). Adanya UKT, menurut mereka akan memurahkan biaya pendidikan karena mahasiswa hanya akan membayar satu biaya pendidikan serta tidak ada lagi iuran pangkal.
"Biaya yang dibayar mahasiswa akan mudah dikendalikan jika dikumpulkan jadi satu menjadi UKT," tutur Nuh, saat konferensi pers Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang UKT, di Ruangan Graha 1, Gedung A lantai 2 Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2013)
Serta dalam permen no 55 tahun 2013 pasal 5:
Perguruan  tinggi  negeri tidak  boleh  memungut uang  pangkal dan  pungutan lain selain uang kuliah tunggal dari mahasiswa baru program Sarjana (S1) dan program diploma mulai tahun akademik 2013 – 2014
Dengan adanya UKT juga dikatakan bahwa akan terjadi subsidi silang antara mahasiswa ‘kaya’ dan mahasiswa ‘miskin’. Hal ini digambarkan dengaan adanya pengelompokan pembayaran UKT berdasar pada tigkat pendapatan orang tua, hal ini diatur di pasal 2 permen no 55 tahun 2013:
Uang kuliah tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) terdiri atas beberapa  kelompok  yang ditentukan  berdasarkan  kelompok  kemampuan ekonomi masyarakat.
Selanjutnya, hubungannya dengan PTN-BH, telah dijelaskan diatas bahwa PTN yang telah PTN-BH berhak untuk menentukan sendiri besaran biaya yang ditanggung oleh mahasiswanya. Maka, PTN-BH tentu bisa mengatur jumlah besaran UKT tersebut sesuai dengan keadaan mahasiswa dan kebutuhan pembiayaan operasional PTN.
Namun, apakah benar dengan sistem UKT, besaran biaya pendidikan yang dibayar mahasiswa akan semakin murah??? Apalagi dengan sistem PTN-BH dimana kampus dituntut untuk mendapat sumber pendanaan sendiri???
Mari kita lihat skema dibawah:
Berdasar UU PT

Diatas adalah skema sumber pendanaan yang diperoleh oleh kampus. Kemudian, mari kita kembali ke pertanyaan, apakah UKT akan memurahkan atau malah memahalkan biaya pendidikan. Mari kita lihat data UKT yang untuk mahasiswa MIPA Unhas angkatan 2013:
Sumber: data dept. Riset, Penelitan, dan Pengembangan BEM FMIPA Unhas 2013/2014

Selanjutnya, menurut pemerintah provinsi SULSEL, Upah Minimal Provinsi SULSEL adalah sebesar Rp 1,8 Juta/bulan. Jika coba kita perbandingkan, jumlah iuran yang dibayar untuk UKT tidak bisa kita katakan murah dengan mencoba memperbandingkan UMP dan SPP yang ditanggung mahasiswa. Biaya yang diatas masih berupa biaya khusus untuk pendidikan, belum lagi biaya kebutuhan hidup sehari-hari.
Tapikan ada subsidi silang..??
Mungkin demikian pembenaran selanjutnya. Mari kita lihat data persebaran kelompok UKT MIPA Unhas 2013:
Sumber: data dept. Riset, Penelitan, dan Pengembangan BEM FMIPA Unhas 2013/2014

Berdasar perhitungan pihak birokrasi, standar biaya minimal yang harus ditanggung oleh mahasiswa di Unhas adalah Rp 750.000 (menurut hasil wawancara pihak BEM FMIPA Unhas). Sementara, logika dalam subsidi silang adalah mereka yang membayar dibawah standar akan disubsidi oleh mereka yang diatas standar. Melihat data diatas, tidak ada satu pun mahasiswa yang membayar dibawah standar, yang ada itu yang membayar diatas standar!!! Berdasar dari hitung-hitung kasar dari data diatas dari MIPA Unhas saja, bisa ditemui angka Rp 147.500.000/semester sebagai nilai plus dari UKT.
Apakah ini untuk mempermurah biaya pendidikan  dan memperbesar peluang kuliah atau malah ajang nyari untung??
Selanjutnya, asumsi bahwa dengan PTN-BH biaya kuliah yang ditanggung mahasiswa akan ditekan.
Apakah benar??? Berdasar hal yang telah kita bahas diatas, dengan PTN-BH kampus diwajibkan untuk mencari dana sendiri dan APBN dan APBD akan ditekan. Mari kita coba pikir-pikir sederhana kasus dibawah ini:
Ditengah kebutuhan pembiayaan kampus yang tetap bahkan meningkat setiap tahun, subsidi terhadap kampus dikurangi, kira-kira, dari mana kemungkinan besar kampus akan mencari sumber pendapatan utama??
Hanya ada tida kemungkinan besar:
  1.  investasi
  2.  badan usaha milik kampus
  3. MAHASISWA
Secara logika sederhana, bisa kita katakan kemungkinan kenaikan SPP sebenarnya lebih besar dari pada kemungkinan turunya!!
Tapi itu Cuma asumsi, mari kita lihat data dilapangan. Bagaimana menurut anda dengan SPP di ITB yang mencapai Rp 10juta/semester??? Atau bagaimana dengan IPB yang mencapai Rp 13,5 Juta/semester??? Atau UGM yang mencapai Rp 14juta/semester???
APAKAH ITU MURAH???
Selain itu, memang benar kampus dilarang menarik uang pangkal (pasal 5 permen UKT), tapi coba lihat pasal 6 dari UKT,
Perguruan  tinggi  negeri dapat  memungut  di  luar  ketentuan  uang  kuliah tunggal dari  mahasiswa  baru program Sarjana (S1) dan  program  diploma nonreguler paling  banyak  20  (dua  puluh)  persen  dari  jumlah  mahasiswa  baru mulai tahun akademik 2013 – 2014.
Nah loh, kok??? Mungkin benar kampus dilarang mengambil uang pangkal dari setiap mahasiswa baru, amun kampus tidak dilarang untuk mengambil pungutan-pungutan selain ukt kepada mahasiswa, misal uang pembangunan, dll.
Selanjutnya, besarnya kebutuhan pembiayaan kampus mengakibatkan kampus harus cerdas-cerdas ‘mencari’ uang. Memang benar, tata kelolanya harus nirlaba, tapi coba bayangkan membengkaknya kebutuhan pembiayaan pasti akan memaksa kampus untuk lebih giat mencari uang untuk pelaksanaan pendidikan. Kampus akan membuka banyak badan usaha, UI misal dengan starbucks-nya, Unhas dengan Rumah Sakit dan CFC-nya, dll. Lama-lama kampus ini kerjanya bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi buka usaha sebanyak-banyaknya dan mencari uang sebesar-besarnya. Atau semaaki menggalakkan kerjasama-kerjasama dengan pihak lain. USAID, AUSAID, WB, ADB, dan perusahaan-perusahaan. Dan jelas, harus kita ingat bahwa tidak ada istilah bebas nilai dalam dunia industri. Setiap uang/investasi yang dikeluarkan pasti mengharapkan feedback.
Kedua, pendapat pro UU PT dan PTN-BH, dengan adanya UU PT dan PTN-BH, kampus akan otonom. Mendapat keleuasaan dalam membuka program study sesuai kebutuhan kampus, mengangkat dosen dan tenaga kerja. Sepintas itu bagus, namun, bukankah otoritas penuh dalam membuka prodi/jurusan tentu juga diiringi dengan otoritas untuk mnutup prodi yang tidak laku?? Lantas bagaimana nassib mahasiswa dari prodi/jurusan tersebut?? Selanjutnya, otoritas mengangkat tenaga kerja, juga memudahkan kampus untuk memecat tenaga kerja. Maka mari kita lihat kemungkinan besar pemecatan besar-besaran terhadap dosen-dosen yang dianggap tidak berkompeten dengan melihat keadaan dosen dilapangan yang kebanyakan cenderung malas-malasan dan berorientasi proyek.
Melihat asumsi yang mereka katakan, sebenarnya kerumitan dalam pembukaan prodi/jurusan atau pengangkatan dosen itu bukan karena kampus tidak otonom, tapi karena pihak kementerian yang membuat proseduralnya menjadi rumit. Jadi bisa dibilang, otonom atau tidak itu tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap cepat tidaknya prosedural. Itu bukan akar persoalan.
Ketiga, pendapat pro UU PT dan PTN-BH mengatakan kampus akan akuntabel. Mari kita lihat UU no 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pasal 9 ayat 1 dan 2:
1. Setiap Badan Publik wajib memberi informasi publik secara berkala.
2. Informasi publik sebagaimana ayat (1) meliputi:
a.      Informasi yang berkaitan dengan Badan Publik;
b.      Informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait;
c.       Informasi mengenai laporan keuangan ; dan/atau
d.      Informasi lain yang diatur dalam perundang-undangan
Nah, melihat UU Keterbukaan Informasi Publik diatas, dengan atau tanpa UU PT dan PTN-BH, kampus wajib memberikan informasi dan bersifat akuntabel. Maka, bisa dikatakan bahwa mahasiswa berhak atas informasi alokasi dana SPP mereka setiap tahun walau tanpa UU PT dan PTN-BH sekalipun!!!
Melihat hal diatas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya keberadaan UU PT, UKT, atau PTN-BH tidak untuk menyelesaikan persoalan rakyat dan pemenuhan penjaminan mutu dari pendidikan. Malah sebaliknya, pernyataan bahwa dengan adanya UU PT, serta dua anaknya (baca UKT dan PTN-BH), akan mengomersialisasikan pendidikan dan meliberalkan pendidikan bisa kita anggap tepat. Bangunan asumsi yang diungkap oleh pihak pemangku kebijakan entah itu negara maupun kampus hanya sekonyong-konyong habis dimulut mereka saja. Fakta dilapangan berkata lain. Mereka hanya menjual mimpi dengan harga obralan. Maka sangat tepat jika gelombang penolakan terhadap UU PT, UKT, dan PTN-BH yang dilakukan oleh organisasi kemahasiswaan (baik intra kampus maupun ekstra kampus) semarak dimana-mana. Bahkan lebih dari itu, gelombang penolakan sudah seharusnya ada mengingat kebutuhan kita terhadap akses pendidikan dan jaminan lapangan kerja.
The last,
Keburaman sistem pendidikan kita hari ini, sepatutnya bukan cuma jadi bahan diskusi kantin atau diskusi pelataran, tapi menjadi cambuk pelecut untuk organisasi kemahasiswaan untuk semakin giat mengintensifkan pebangkitan, pengorganisasian, dan penggerakan massa dalam upaya peruangan menuntut kebutuhan terhadap pendidikan yang terjangkau dan jaminan lapangan kerja. Sebab, perubahan itu tidak akan lahir dari diskusi-diskusi tanpa out put, tapi perubahan itu lahir dari diskusi-diskusi yang diakhiri dengan tindakan-tindakan konkret. Sebab, pemangku kebijakan yang kesadarannya ada pada titik menikmati hasil penghisabannya terhadap mahasiswa, tentu tidak akan melepas kesenangan itu begitu saja. Perjuanganlah yang kelak akan merobohkan tirani sistem pendidikan yang mahal, tidak mencerdaskan, dan tidak menjanjikan masa depan cerah ini.

BANGKITKAN, ORGANISASIKAN, GERAKKAN,
WUJUDKAN PENDIDIKAN YANG ILMIAH, DEMOKRATIS, DAN MENGABDI PADA RAKYAT..!!

1 comment:

  1. Pertama, otonomisasi yang diberikan tidak seutuhnya penuh, tentu ada bingkai-biangkai dari kementrian (alias negara gk lepas tangan).
    kedua, setiap kebijakan pasti selalu ada pro dan kontranya, positif dan negatifnya. tetapi harus kita cermati lebih seksama, bahwa PTN BH ini lebih banyak kebaikannya ketimbang keburukannya. Dan keburukannya bisa kita cegah. Cegahnya pun lebih mudah karena hanya pihak rektorat saja yang kita adili, gk sampai ke kementrian lagi (dengan kata lain pencegahannya lebih sederhana). hehe..
    ketiga, sama seperti hak otonom yang diberikan kepada tiap daerah provinsi di Indonesia. klo kebijakan2 di tiap daerah masih berpusat di jakarta, yakin saja indonesia gk berkembang seperti hari ini. Nah, PT pun baiknya seperti itu. Punya kreativitas mengembangkan kampusnya sendiri.

    Keempat, jika kampus punya hak otonom, kampus bisa memikirkan baiknya bagaimana. Dan memikirkan baiknya kampus ini, bisa berdiskusi dengan mahasiswa. Pihak rektorat harus mau..

    ReplyDelete

Wednesday, April 16, 2014

Sekilas UU PT, UKT, dan PTN-BH

Dalam beberapa waktu belakangan ini isu tentang Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) menjad isu yang hangat dikalangan civitas akademika Universitas Hasanuddin. Cukup wajar, mengingat adanya kemungkinan unhas beralih dari statusnya yang saat ini yang ‘masih’ berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) ke PTN-BH. Menurut evaluasi DIKTI, Unhas dianggap telah cukup mapan untuk menjadi PTN-BH.
Tapi sebenarnya, apa itu PTN-BH???


PTN-BH pada dasarnya adalah PTN yang telah diberi otonomi penuh dalam pengelolaan kampusnya. Adapun otonomi yang dimaksud adalah otonomi akademik meliputi penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan Tri Dharma PT, serta otonomi non-akademik meliputi, organisasi, kemahasiswaan, ketenagaan, keuangan, dan sarana prasarana (UU no. 12 thn 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 64). Atau secara konkret menurut UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) pasal 65 point 3:
PTN  badan  hukum  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) memiliki:

  1.       kekayaan  awal  berupa  kekayaan  negara  yang  dipisahkan kecuali tanah;
  2.     tata  kelola  dan  pengambilan  keputusan  secara mandiri;
  3.        unit  yang  melaksanakan  fungsi  akuntabilitas  dan transparansi;
  4.        hak  mengelola  dana  secara  mandiri,  transparan, dan akuntabel;
  5.   wewenang  mengangkat  dan  memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;
  6.     wewenang  mendirikan  badan  usaha  dan mengembangkan dana abadi; dan
  7.      wewenang  untuk  membuka,  menyelenggarakan, dan menutup Program Studi
atau dapat dilihat digambar dibawah:
Sumber: Bahan Sosialisasi UU DIKTI

Adapun otonomi yang terjadi, pada dasarnya telah menjadi cita-cita dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam UU no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 24 yang juga menjadi dasar dari lahirnya UU PT:
  1.    Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan  tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
  2.    Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat  penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
  3.  Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yangpengelolaannya  dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik
Hal ini juga sejalan dengan tujuan Dirjen DIKTI yang termaktub dalam renstra DIRJEN DIKTI 201-2014:
  1. Terbangunnya  sistem  Direktorat  Jenderal  Pendidikan  Tinggi  yang  mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien
  2. Ketersediaan  pendidikan  tinggi  Indonesia  yang  bermutu  dan  relevan  dengan kebutuhan  pembangunan  nasional  sehingga  berkontribusi  secara  nyata  kepada
  3. peningkatan daya saing bangsa;
  4. Keterjangkauan, kesetaraan, dan keterjaminan akses  untuk  memperoleh pendidikan tinggi;
  5. Perguruan tinggi yang otonom dan akuntabel sejalan dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
  6. Interaksi perguruan tinggi dengan masyarakat  yang mencerminkan hubungan timbal balik yang selaras dan saling menguntungkan
Melihat dari penjelasan diatas, kampus yang berkedudukan sebagai PTN-BH memiliki banyak keleluasaan dalam pengelolaannya. Kampus diberi hak untuk menentukan besaran biaya pendidikan yang ditanggung mahasiswa (SPP/UKT),  membuka dan menutup jurusan, fakultas, atau prodi, mengangkat dan memberhentikan dosen, bahkan lebih dari itu, kampus diberi keleluasaan untuk membuka usaha/pemanfaatan aset dan bekerja sama dengan pihak luar. Berbeda dengan BLU yang masih harus melalui syarat prosedural di kementerian. Melihat dari keadaan tersebut, PTN-PTN berlomba-lomba menjadi PTN-BH. Namun, sampai sekarang PTN yang menjadi PTN-BH ‘hanya’ UI, ITB, IPB, UGM, UNAIR, USU, dan UPI. Sementara Unhas, Undip, ITS, serta Unpad sudah mendapat lampu hijau dan sementara persiapan menuju PTN-BH.
Pada perkembangannya, kehadiran PTN-BH (konsekuensi logis dari UU PT), melahirkan banyak pendapat pro dan kontra. Ada yang menganggap, otonomi yang menjadi ciri-ciri dari PTN-BH merupakan praktek komersialisasi dan liberalisasi sektor PTN. Hal ini dilekatkan dengan pendapat bahwa dengan PTN-BH, maka akses terhadap akan semakin sulit dengan semakin membumbung tingginya uang SPP/UKT. Namun, hal tersebut dibantah dengan pernyataan dari pihak pemangku kebijakan. Menurut mereka, PTN-BH adalah wujud pemajuan kualitas pendidikan yang kesannya jauh dari komersialisasi. ''PT tidak akan dilepas begitu saja. Dia harus tetap sebagai lembaga nirlaba. Tidak boleh ada komersialisasi dan liberalisasi," kata Nuh. Selanjutnya, rektor terpilih Unhas, Prof. Dwia Aries mengungkapkan dengan pelaksanaan PTN-BH di Unhas, malah akan menekan biaya pendidikan. Tapi, hal tersebut masih terbatas pada wilayah asumsi. Maka, mungkin akan sangat tepat jika kita mencoba menganalisa lebih jauh dan sesekali mencoba mengiriskannya dengan fakta yang telah terjadi dilapangan.
Pertama, pendapat pro UU PT dan PTN-BH yang menyatakan bahwa tidak akan ada komersialisasi pendidikan dengan adanya kebijakan tersebut. Pijakan mereka yang pertama adalah dengan lahirnya UU PT selain melahirkan PTN-BH, juga melahirkan anak peraturan lain disektor pembiayaan oleh mahasiswa yaitu sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). Adanya UKT, menurut mereka akan memurahkan biaya pendidikan karena mahasiswa hanya akan membayar satu biaya pendidikan serta tidak ada lagi iuran pangkal.
"Biaya yang dibayar mahasiswa akan mudah dikendalikan jika dikumpulkan jadi satu menjadi UKT," tutur Nuh, saat konferensi pers Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang UKT, di Ruangan Graha 1, Gedung A lantai 2 Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2013)
Serta dalam permen no 55 tahun 2013 pasal 5:
Perguruan  tinggi  negeri tidak  boleh  memungut uang  pangkal dan  pungutan lain selain uang kuliah tunggal dari mahasiswa baru program Sarjana (S1) dan program diploma mulai tahun akademik 2013 – 2014
Dengan adanya UKT juga dikatakan bahwa akan terjadi subsidi silang antara mahasiswa ‘kaya’ dan mahasiswa ‘miskin’. Hal ini digambarkan dengaan adanya pengelompokan pembayaran UKT berdasar pada tigkat pendapatan orang tua, hal ini diatur di pasal 2 permen no 55 tahun 2013:
Uang kuliah tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) terdiri atas beberapa  kelompok  yang ditentukan  berdasarkan  kelompok  kemampuan ekonomi masyarakat.
Selanjutnya, hubungannya dengan PTN-BH, telah dijelaskan diatas bahwa PTN yang telah PTN-BH berhak untuk menentukan sendiri besaran biaya yang ditanggung oleh mahasiswanya. Maka, PTN-BH tentu bisa mengatur jumlah besaran UKT tersebut sesuai dengan keadaan mahasiswa dan kebutuhan pembiayaan operasional PTN.
Namun, apakah benar dengan sistem UKT, besaran biaya pendidikan yang dibayar mahasiswa akan semakin murah??? Apalagi dengan sistem PTN-BH dimana kampus dituntut untuk mendapat sumber pendanaan sendiri???
Mari kita lihat skema dibawah:
Berdasar UU PT

Diatas adalah skema sumber pendanaan yang diperoleh oleh kampus. Kemudian, mari kita kembali ke pertanyaan, apakah UKT akan memurahkan atau malah memahalkan biaya pendidikan. Mari kita lihat data UKT yang untuk mahasiswa MIPA Unhas angkatan 2013:
Sumber: data dept. Riset, Penelitan, dan Pengembangan BEM FMIPA Unhas 2013/2014

Selanjutnya, menurut pemerintah provinsi SULSEL, Upah Minimal Provinsi SULSEL adalah sebesar Rp 1,8 Juta/bulan. Jika coba kita perbandingkan, jumlah iuran yang dibayar untuk UKT tidak bisa kita katakan murah dengan mencoba memperbandingkan UMP dan SPP yang ditanggung mahasiswa. Biaya yang diatas masih berupa biaya khusus untuk pendidikan, belum lagi biaya kebutuhan hidup sehari-hari.
Tapikan ada subsidi silang..??
Mungkin demikian pembenaran selanjutnya. Mari kita lihat data persebaran kelompok UKT MIPA Unhas 2013:
Sumber: data dept. Riset, Penelitan, dan Pengembangan BEM FMIPA Unhas 2013/2014

Berdasar perhitungan pihak birokrasi, standar biaya minimal yang harus ditanggung oleh mahasiswa di Unhas adalah Rp 750.000 (menurut hasil wawancara pihak BEM FMIPA Unhas). Sementara, logika dalam subsidi silang adalah mereka yang membayar dibawah standar akan disubsidi oleh mereka yang diatas standar. Melihat data diatas, tidak ada satu pun mahasiswa yang membayar dibawah standar, yang ada itu yang membayar diatas standar!!! Berdasar dari hitung-hitung kasar dari data diatas dari MIPA Unhas saja, bisa ditemui angka Rp 147.500.000/semester sebagai nilai plus dari UKT.
Apakah ini untuk mempermurah biaya pendidikan  dan memperbesar peluang kuliah atau malah ajang nyari untung??
Selanjutnya, asumsi bahwa dengan PTN-BH biaya kuliah yang ditanggung mahasiswa akan ditekan.
Apakah benar??? Berdasar hal yang telah kita bahas diatas, dengan PTN-BH kampus diwajibkan untuk mencari dana sendiri dan APBN dan APBD akan ditekan. Mari kita coba pikir-pikir sederhana kasus dibawah ini:
Ditengah kebutuhan pembiayaan kampus yang tetap bahkan meningkat setiap tahun, subsidi terhadap kampus dikurangi, kira-kira, dari mana kemungkinan besar kampus akan mencari sumber pendapatan utama??
Hanya ada tida kemungkinan besar:
  1.  investasi
  2.  badan usaha milik kampus
  3. MAHASISWA
Secara logika sederhana, bisa kita katakan kemungkinan kenaikan SPP sebenarnya lebih besar dari pada kemungkinan turunya!!
Tapi itu Cuma asumsi, mari kita lihat data dilapangan. Bagaimana menurut anda dengan SPP di ITB yang mencapai Rp 10juta/semester??? Atau bagaimana dengan IPB yang mencapai Rp 13,5 Juta/semester??? Atau UGM yang mencapai Rp 14juta/semester???
APAKAH ITU MURAH???
Selain itu, memang benar kampus dilarang menarik uang pangkal (pasal 5 permen UKT), tapi coba lihat pasal 6 dari UKT,
Perguruan  tinggi  negeri dapat  memungut  di  luar  ketentuan  uang  kuliah tunggal dari  mahasiswa  baru program Sarjana (S1) dan  program  diploma nonreguler paling  banyak  20  (dua  puluh)  persen  dari  jumlah  mahasiswa  baru mulai tahun akademik 2013 – 2014.
Nah loh, kok??? Mungkin benar kampus dilarang mengambil uang pangkal dari setiap mahasiswa baru, amun kampus tidak dilarang untuk mengambil pungutan-pungutan selain ukt kepada mahasiswa, misal uang pembangunan, dll.
Selanjutnya, besarnya kebutuhan pembiayaan kampus mengakibatkan kampus harus cerdas-cerdas ‘mencari’ uang. Memang benar, tata kelolanya harus nirlaba, tapi coba bayangkan membengkaknya kebutuhan pembiayaan pasti akan memaksa kampus untuk lebih giat mencari uang untuk pelaksanaan pendidikan. Kampus akan membuka banyak badan usaha, UI misal dengan starbucks-nya, Unhas dengan Rumah Sakit dan CFC-nya, dll. Lama-lama kampus ini kerjanya bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi buka usaha sebanyak-banyaknya dan mencari uang sebesar-besarnya. Atau semaaki menggalakkan kerjasama-kerjasama dengan pihak lain. USAID, AUSAID, WB, ADB, dan perusahaan-perusahaan. Dan jelas, harus kita ingat bahwa tidak ada istilah bebas nilai dalam dunia industri. Setiap uang/investasi yang dikeluarkan pasti mengharapkan feedback.
Kedua, pendapat pro UU PT dan PTN-BH, dengan adanya UU PT dan PTN-BH, kampus akan otonom. Mendapat keleuasaan dalam membuka program study sesuai kebutuhan kampus, mengangkat dosen dan tenaga kerja. Sepintas itu bagus, namun, bukankah otoritas penuh dalam membuka prodi/jurusan tentu juga diiringi dengan otoritas untuk mnutup prodi yang tidak laku?? Lantas bagaimana nassib mahasiswa dari prodi/jurusan tersebut?? Selanjutnya, otoritas mengangkat tenaga kerja, juga memudahkan kampus untuk memecat tenaga kerja. Maka mari kita lihat kemungkinan besar pemecatan besar-besaran terhadap dosen-dosen yang dianggap tidak berkompeten dengan melihat keadaan dosen dilapangan yang kebanyakan cenderung malas-malasan dan berorientasi proyek.
Melihat asumsi yang mereka katakan, sebenarnya kerumitan dalam pembukaan prodi/jurusan atau pengangkatan dosen itu bukan karena kampus tidak otonom, tapi karena pihak kementerian yang membuat proseduralnya menjadi rumit. Jadi bisa dibilang, otonom atau tidak itu tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap cepat tidaknya prosedural. Itu bukan akar persoalan.
Ketiga, pendapat pro UU PT dan PTN-BH mengatakan kampus akan akuntabel. Mari kita lihat UU no 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pasal 9 ayat 1 dan 2:
1. Setiap Badan Publik wajib memberi informasi publik secara berkala.
2. Informasi publik sebagaimana ayat (1) meliputi:
a.      Informasi yang berkaitan dengan Badan Publik;
b.      Informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait;
c.       Informasi mengenai laporan keuangan ; dan/atau
d.      Informasi lain yang diatur dalam perundang-undangan
Nah, melihat UU Keterbukaan Informasi Publik diatas, dengan atau tanpa UU PT dan PTN-BH, kampus wajib memberikan informasi dan bersifat akuntabel. Maka, bisa dikatakan bahwa mahasiswa berhak atas informasi alokasi dana SPP mereka setiap tahun walau tanpa UU PT dan PTN-BH sekalipun!!!
Melihat hal diatas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya keberadaan UU PT, UKT, atau PTN-BH tidak untuk menyelesaikan persoalan rakyat dan pemenuhan penjaminan mutu dari pendidikan. Malah sebaliknya, pernyataan bahwa dengan adanya UU PT, serta dua anaknya (baca UKT dan PTN-BH), akan mengomersialisasikan pendidikan dan meliberalkan pendidikan bisa kita anggap tepat. Bangunan asumsi yang diungkap oleh pihak pemangku kebijakan entah itu negara maupun kampus hanya sekonyong-konyong habis dimulut mereka saja. Fakta dilapangan berkata lain. Mereka hanya menjual mimpi dengan harga obralan. Maka sangat tepat jika gelombang penolakan terhadap UU PT, UKT, dan PTN-BH yang dilakukan oleh organisasi kemahasiswaan (baik intra kampus maupun ekstra kampus) semarak dimana-mana. Bahkan lebih dari itu, gelombang penolakan sudah seharusnya ada mengingat kebutuhan kita terhadap akses pendidikan dan jaminan lapangan kerja.
The last,
Keburaman sistem pendidikan kita hari ini, sepatutnya bukan cuma jadi bahan diskusi kantin atau diskusi pelataran, tapi menjadi cambuk pelecut untuk organisasi kemahasiswaan untuk semakin giat mengintensifkan pebangkitan, pengorganisasian, dan penggerakan massa dalam upaya peruangan menuntut kebutuhan terhadap pendidikan yang terjangkau dan jaminan lapangan kerja. Sebab, perubahan itu tidak akan lahir dari diskusi-diskusi tanpa out put, tapi perubahan itu lahir dari diskusi-diskusi yang diakhiri dengan tindakan-tindakan konkret. Sebab, pemangku kebijakan yang kesadarannya ada pada titik menikmati hasil penghisabannya terhadap mahasiswa, tentu tidak akan melepas kesenangan itu begitu saja. Perjuanganlah yang kelak akan merobohkan tirani sistem pendidikan yang mahal, tidak mencerdaskan, dan tidak menjanjikan masa depan cerah ini.

BANGKITKAN, ORGANISASIKAN, GERAKKAN,
WUJUDKAN PENDIDIKAN YANG ILMIAH, DEMOKRATIS, DAN MENGABDI PADA RAKYAT..!!

1 comment:

  1. Pertama, otonomisasi yang diberikan tidak seutuhnya penuh, tentu ada bingkai-biangkai dari kementrian (alias negara gk lepas tangan).
    kedua, setiap kebijakan pasti selalu ada pro dan kontranya, positif dan negatifnya. tetapi harus kita cermati lebih seksama, bahwa PTN BH ini lebih banyak kebaikannya ketimbang keburukannya. Dan keburukannya bisa kita cegah. Cegahnya pun lebih mudah karena hanya pihak rektorat saja yang kita adili, gk sampai ke kementrian lagi (dengan kata lain pencegahannya lebih sederhana). hehe..
    ketiga, sama seperti hak otonom yang diberikan kepada tiap daerah provinsi di Indonesia. klo kebijakan2 di tiap daerah masih berpusat di jakarta, yakin saja indonesia gk berkembang seperti hari ini. Nah, PT pun baiknya seperti itu. Punya kreativitas mengembangkan kampusnya sendiri.

    Keempat, jika kampus punya hak otonom, kampus bisa memikirkan baiknya bagaimana. Dan memikirkan baiknya kampus ini, bisa berdiskusi dengan mahasiswa. Pihak rektorat harus mau..

    ReplyDelete